Nun jauh di ufuk lalu planet kita yang mungil ini sering dikunjungi oleh hamba-hamba robbani yang telah mengukir sejarah ummat manusia dengan ornamen surgawi. Mereka adalah para penempuh jalan kebenaran yang tiada tanding, para pencari yang berhasil menemukan dirinya yang bukan anak struktur, dan para piawai yang telah menyelamatkan bumi dari kefanaannya.
Mereka datang dari puncak gunung, dari tepi ngarai, pinggir samodera dan dari padang pasir yang tandus bukan untuk berburu dan mengumpulkan kekayaan duniawi, melainkan hendak mengajak ummat manusia untuk menunda datangnya hari kiamat dan sekaligus mengurungkan kematian.
Mereka menulis puisi bukan untuk berpuisi, karena dirinya telah berupa puisi-konkret yang didendangkan oleh para Malaikat. Mereka juga meninggalkan wacana-wacana tetapi tidak untuk berwacana, karena perilaku mereka telah berwujud wacana-wacana yang dinyanyikan oleh bintang-bintang di langit, embun pagi, arakan awan dan ombak di lautan.
Mereka tidak memiliki sesuatu dan tidak pula dimiliki oleh sesuatu, karena pada hakekatnya mereka milik semua dan pemilik semua. Mereka dikenal oleh kebanyakan manusia sebagai para Rasul, para Nabi dan para penempuh jalan kebenaran atau Sufi.
Bagai kendaraan mereka turun dari langit, ketika Sang Maha Pengasih rindu menjenguk makhluk-Nya. Mereka juga kereta-kereta pada saat Sang Pemelihara semesta mencemaskan keadaan hamba-hamba-Nya.
Berbahagialah bangsa yang dikunjungi, lestarilah negeri yang disinggahi dan cemerlanglah dataran planet yang diinjaknya. Bagai sayap-sayap raksasa mereka menaungi ummat manusia dari murka Tuhan dan duka berada.
Semoga berkilau maqam mereka hingga hari kebangkitan.
SEBUAH KARYA ENSIKLOPEDIK TENTANG TASAWUF
Salah satu dari warisan kepustakaan para sufi adalah Risalatul Qusyairiyah yang ditulis oleh Imam Qusyairi dari Naisabur. Sebuah karya ensikiopedik yang menghimpun pendapat-pendapat para Sufi terdahulu tentang Prinsip-prinsip Tauhid dalam pandangan Kaum Sufi, Terminologi Tasawuf dan Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.
Di awal penjelasan tentang Terminologi Tasawuf, penulis memperkenalkan identitas Sufi sebagai 'anak sang waktu'. Maka menjadi jelas bagi kita bahwa mujahadah seorang mutasawwif bersifat internal dengan fokus perjuangan menemukan identitas diri yang paling final.
Sesungguhnya dimensi yang mereka arungi merupakan sisi gelap manusia yang tak mungkin dapat disingkapkan dengan kunci-kunci keruangan. Hal itu disebabkan kelemahan ilmu pengetahuan obyektif di dalam menembus dinding subyek.
Memang demikian kenyataannya. Pencarian diri dengan berorientasi keluar tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, bahkan berdampak memecah kesatuan ummat manusia di dalam berbagai paham falsafah. Karena apa yang didapatkan dengan upaya tersebut hanya sebuah persepsi tentang diri, bukan kenyataannya.
Muncullah para Nabi. Dengan petunjuk Ilahi mereka berusaha menyatukan kembali kenyataan ummat dengan menawarkan 'Hamba Allah' sebagai identitas setiap individu manusia.
Tawaran ini memang akurat, masuk akal dan efektif bagi hati nurani yang demen pada kehidupan dan mencintai kedamaian. Tetapi betapa pun hal itu masih berupa 'pengetahuan verbal' atau 'ilmul-yakin' yang perlu diuji kebenarannya di dalam kenyataan.
Setelah kita benar-benar menyaksikan wujud hamba Allah yang berintegritas mensemesta yang selalu aktual di dalam pengabdian yang tinggi kepada seluruh ummat manusia dimana dan kapan saja ia berada, barulah dapat dikatakan kita telah memiliki 'pengetahuan visual' atau 'ainul-yakin' terhadapnya.
Secara kondisional pribadi seperti tersebut di atas layak diangkat sebagai Mursyid, kendati ia bukan seorang ustad dari sebuah halaqah spiritual. Karena Mursyid bukanlah fungsi yang dapat diamanatkan oleh sebuah lembaga atau lingkungan ummat untuk melaksanakan tugas pembentukan pribadi, melainkan kualitas spiritual seseorang.
Bila dengan panduannya kita berhasil memiliki konsistensi aktual secara 'ihsan', barulah kita dapat disebut memiliki'pengetahuan aktual' atau 'haqqul-yakin'.
Dari kondisi seorang beriman secara doktrinal hingga mencapai derajad Muhsin membutuhkan proses panjang yang didukung dengan tekad yang membaja, himmah yang kuat, disiplin yang keras dan praktikum-praktikum dengan diri yang tak kenal jenuh, disertai gemar berkontemplasi, berefleksi dan berkoeksistensi dengan akhlakul-karimah terhadap siapa saja, baik berwujud manusia atau pun hayawan, sebagaimana dibentangkan secara rinci di dalam Maqamat Para Penempuh Jalan Sufi.
Bila para Nabi dengan Kitab-Sucinya telah berhasil mengungkapkan 'kebenaran universal' yang tidak berkerut oleh zaman para Sufi telah melahirkan kebenaran 'kontekstual' yang tak berulang sepanjang zaman. Itulah 'hikmah' yang tidak akan pernah bisa ditiru, tetapi sangat tinggi nilainya sebagai pengetahuan antar subyek di kalangan hamba Allah.
Kehadiran para Sufi di dalam realita kehidupan orang beriman menunjukkan kepada kita wujudnya 'seni bertuhan' yang tak kalah mengasyikkan dibanding dengan pengembaraan di bidang keilmuan dan seni apa pun di dunia ini.
Marilah kita jamah keotentikannya melewati analisa berikut ini.
ISI: TAWAKKAL, PERAN, DUNIA DIRI DAN TITIK BEDA
Gaya hidup profetik para Sufi memiliki kemiripan dengan gaya hidup kenabian Sayidina Isa AS. Mereka lebih dominan berorientasi pada pembentukan diri yang akurat dibanding dengan berekspansi ke dalam semesta-struktural, sehingga mereka dapat mencapai kondisi sempurna secara individual.
Bagi golongan tersebut Allah berkenan memindahkan kepengurusan hidup mereka langsung ke tangan-Nya tanpa dukungan ilmu pengetahuan obyektif yang lazim digunakan di dalam mengatasi kebutuhan hidup.
- "Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah cukup baginya." (Ath-Thalaq: 3).
- "Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali kesenangan yang menipu." (Ali-Imran: 185;);
- "Dan tiadalah kehidupan dunia itu, kecuali permainan dan senda gurau." (Al-An'am: 32).
- " Dan apa yang aku lakukan tidak dari kemauanku sendiri." (Al Kahfi: 82).
- "Inilah saat perpisahan antara aku dengan engkau." (Al-Kahfi:78).
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di dalam efidensinya sempat bercengkerama dengan Tuhan seraya berkata:
- "Engkaulah yang Tunggal di langit, dan akulah yang tunggal di bumi".
Begitu pula Jibran di dalam An-Nabi:
- "Sendiri tanpa sangkarnya rajawali terbang mengepak langit".
Pernah Ibnu Sina menegur seorang Sufi bermaqam fana':
- "Apakah yang tampak bila tak ada orang yang melihat?" Sufi tersebut menjawabnya dengan pertanyaan pula:
-"Apa yang tidak tampak ketika ada orang melihat?".
Sebenarnya apa yang sedang disaksikan oleh Sang Fana' adalah wajah di balik wajah dan makna di balik makna yang hanya bisa terlihat di dalam bashirah seorang Ahli Sirr.
Pengetahuan tersebut sama sekali tidak didukung oleh referensi ilmu atau pun hukum kausalitas alam, bahkan ia lahir dari pengingkaran terhadapnya. Semua sebab telah gugur di depan mata Sang Asyik, yang tampak tinggal Wajah Sang Musabbib, seperti mata Majnun yang tidak bisa melihat selain wajah Laila.
- "Kemana saja engkau menghadap, di situ wajah Allah." (Al Baqarah:115).
- "Wahai Zat yang mengetahui rahasia hatiku, cukuplah bagiku memandang-Mu, cukuplah bagiku", gumam Al-Haddad di dalam munajadnya.
Apabila yang tinggal di dalam hati seseorang hanya Allah dan kehambaan dirinya, maka praktis akan sirna rasa ujub, kibir, loba, tamak, iri, hasud, dengki, riya' dan sum 'ah, apalagi kemauan bertindak makar, kadzib, ghibah maupun fitnah dari dalam dirinya. Bahkan akan lenyap pula rasa khawatir terhadap masa depan dan gundah mengenang masa lampau yang menjadi penjara waktu bagi kebanyakan makhluk berakal (Al-Baqarah: 38, 62, 112, 262, 274, 277).
- "Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan amal salih, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya, dan tiada mereka khawatir dan berduka cita." (Al-Baqarah: 62).
- "Dan tiadalah seorang pemikul beban, memikul beban pihak lain." (Al-An'am 164);"Dan tiadalah bagi seseorang, melainkan apa yang dia usahakan." (An-Najm: 39).
- "Dan siapa bersungguh-sungguh mencari ridha Kami, niscaya akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan Kami." (Al Ankabut: 69).
"Jangan sekali-kali engkau berpindah dari ma'rifatmu sendiri ke dalam ma'rifat orang lain, karena itu hak Allah, bukan hakmu untuk melakukannya" pesan Syeikhul Arif Billah Muhammad bin Abdul Jabbar An-Nifari kepada para salik. Demikianlah Sufi tidak bisa dimiliki atau menjadi monopoli sebuah agama, ras maupun bangsa, meski pada mulanya ia lahir di suatu negeri dan dalam asuhan sebuah agama.
Seperti nabi-nabi, setiap Sufi menjadi milik semua, tetapi justeru karena itu ia terlempar ke dalam kesendirian Tuhan yang tak tertanggungkan. Selebihnya tiada baginya tempat bertanya, tiada pula kawan berbagi derita. Sendiri ia memikul duka Tuhan seutuh usia. (Al-Ahzab:40)
Demikianlah keadaan seseorang yang berada di dalam martabat wahdah (unity).
- "Dan siapa yang buta di dunia ini maka dia akan buta di akhirat kelak dan lebih sesat lagi jalannya." ( Al Isra: 72)
KELENGKAPAN: TAQWA, FUNGSI, DUNIA MILIK, TITIK TEMU
Titik temu adalah kesamaan anggapan tentang nilai-nilai yang terbentang di dalam cakrawala kehidupan yang menjadi sasaran operasional setiap individu manusia. (dunia milik)
Penguasaan terhadapnya berwujud orientasi keluar lewat pengabdian sosial, menawarkan hasil kreatifitas atau bereksplorasi keruangan dengan mengadakan penelitian dan eksperimen dengan alam benda dan lingkungan manusia yang menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan hidup yang bersifat obyektif.
Berkiprah di dalam dimensi tersebut membutuhkan aset yag berupa intelektual, bakat, keahlian dan pengetahuan tentang kausalitas alam dan sosial, serta ambisi yang kuat sebagai dinamis-motifnya.
Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat manusia agar dapat berperan serta didalam menangani kepentingan bersama di dalam berbagai bidang kehidupan.
Golongan yang berekspansi ke luar lewat dimensi nilai ini disebut golongan muttaqin oleh Al-Qur'an.
- "Dan siapa taqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberinya rizki dan arah yang tak dapat diduga" (Ath-Thalaq:3).
Begitulah tawakkal dan taqwa merupakan dua konsep orang beriman di dalam menemukan dunia-diri dan dunia-milik sebagai medan mencari ridha Allah.
Kegagalan seseorang di dalam menangani dunia-milik disebabkan kurang akuratnya di dalam menggarap dunia-diri. Maka untuk mengatasi semua masalah yang berupa bencana, stagnasi, ataupun dilematika kehidupan bukan dengan aktivitas keluar, melainkan dengan kembali membenahi dunia diri atau sisi dalam dari realita kehidupan kita.
- "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan yang ada dalam suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada di dalam dirinya." (Ar-Ra'du: 30).
Kerahiban merupakan penyimpangan dari perolehan ketawakalan demi mencapai kesucian pribadi semata, sehingga tertutup baginya untuk menyentuh semesta ketakwaan (pengabdian sosial).
- "Dan mereka mengada-adakan kerahiban yang tidak Kami perintahkan kepada mereka." (Al-Hadid: 27)
KESIMPULAN
Di dalam dimensi tawakkal dimana setiap indivu muslim telah menemukan titik beda dengan semua individu lain, agama Islam bahkan menemukan titik temu dengan semua agama yang ada. Sebaliknya di dalam dimensi taqwa ketika individu seorang muslim telah menemukan titik temu dengan semua individu manusia, Islam berada di dalam titik beda dengan agama lain, karena keluasan syariatnya yang mencakup urusan duniawi. Hal itu membuat Islam sering diberi predikat sebagai agama materialis oleh pihak lain.
Namun betapa pun akhirnya harus diakui bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang berhasil memadukan dua dimensi yang biasa dipertentangkan dengan konsep wujud berpasangan (zaujaini). Yaitu dunia-diri yang dapat diatasi oleh Sayidina Isa AS dengan sifat Quddusnya dan dunia-milik yang berhasil diatasi oleh Sayidina Musa AS dengan teknologi-nya (tongkat).
Dunia diri dan dunia milik merupakan masalah paling dasar di dalam kehidupan manusia, karena keduanya sulit untuk dipadukan di dalam proses aktual tanpa yang satu membantai yang lain. Dampaknya di dalam sejarah beragama pernah memecah ummat Islam menjadi paham Jabariyah dan Qadariyah, golongan Hakekat dan Syariat serta Kaum Sufi dan Fuqaha'.
Hal itu tidak akan bisa terjadi bila kita sadar bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan. Semua fasilitas yang disebut dunia milik telah kita terima sebagai amanah atau titipan Tuhan yang harus kita sampaikan kepada yang berhak, yaitu kehidupan. (Al-Ahzab: 72);
- "Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak." (An-Nisa': 58)
- "Tuhan, masukkanlah aku (ke dalam dunia diri) dengan benar (tawakkal) dan keluarkanlah aku (ke medan amanat) dengan benar (taqwa) dan jadikan bagiku kekuatan penolong dari hadiratMu."
(Al Isra: 80).
Kini kita berada di dalam kurun zaman dimana ketaqwaan di-slogan-kan dan ketawakkalan dicurigai akan menghambat perkembangan ummat manusia.
Setiap orang berusaha merebut fungsi yang tinggi tanpa peduli apakah dirinya sanggup berperan dengan benar atau tidak. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi yang tinggi tanpa kesanggupan memerankan diri yang kwalifaid akan menimbulkan huru-hara dan bencana besar bagi ummat manusia. Sedang pemeran yang baik tanpa fungsi yang dipercayakan kepadanya oleh lingkungan tetap akan dapat memproduk nilai buat sesamanya.
Mungkin karena kesadaran akan hal ini tasawuf mulai dilirik oleh manusia modern yang telah cemas menyaksikan 'peran aneh' yang dilakukan oleh ummat manusia di panggung sandiwara dunia.
Kalau hal itu benar, janji tentang turunnya missi Sayidina Isa AS (tasawwuf) untuk membenahi dan menyempurnakan kualitas pribadi kaum Muslimin di akhir zaman telah tiba.
Untuk itu saya ucapkan: "Selamat datang abad spiritual! Selamat datang Para Penempuh Jalan Kebenaran! Rahmat Tuhan di matamu!
Wallahu A'lam bishshawab.
Sekarjalak, 25 Oktober 1997 (M Zuhri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar